cerpen LOVE IS BLIND KUADRAT 2012-2013

 

 

Siang ini matahari bersinar semangat sekali, apa mungkin ini titik terdekat matahari dengan bumi, ah… entahlah. Panas. Aku hanya berlari menghindari kesempatan sinar UV memanggang tubuhku.

“apa??!!!13.10” hatiku menjerit setelah melihat jam digital di tanganku.Aku menambah kecepatanku berlari menuju ruang redaksi sekolah yang ada di seberang lapangan. Aku dapat merasakan peluh yang mengalir ditubuhku.

“Mii…” lariku terhenti di tengah lapangan, seperti suara yang ku kenal. Sosok itu mendekatiku dari tepi lapangan. Ternyata Erika-sahabatku.

“mau kemana Sob?”

“ruang redaksi” jawabku dengan nafas tersengal, sambil menunjukkan gulungan kertas yang ku bawa.

“bukannya kamu harus cepat pulang menjemput adikmu?” katanya sambil mengambil dan melihat gulungan kertas itu.

“iya, tapi sekarang kan hari terakhir sayembara itu.”

“kalau begitu aku saja yang ke ruang redaksi menyerahkan cerpen ini. LOVE IS BLIND.. hem… kelihatannya bagus. Bagaimana?”aku berfikir sejenak. Resiko kalau aku menerima tawarannya aku tidak bias bertemu Bisma hari ini-si ketua redaksi yang super ganteng menurutku. Kalau aku tidak menerimanya bias-bisa… seharian ini aku diomelin adik.

“mmm… ya sudahlah. Tolong ya sob.”

“sssiiiippp..” ujarnya sambil memamerkan jempolnya. Dengan berat hati aku ku langkahkan kakiku segera menuju lapangan parkir sekolah.

>>> 

Seminggu telah berlalu. Apa cerpenku bisa menang ya?kalau bisa menang akan menjadi anggota redaksi majalah sekolah. Setiap hari bisa bertemu Bisma, wah… membayangkannya saja sudah membuatku senang.

“Wooy.. senyum-senyum sendiri, ada apa?” kata Erika membuyarkan lamunan indahku. Aku hanya tersenyum manis dan mengedip-ngedipkan mata.

“pasti sedang mikirin Kak Bisma ya?? Hayyooo” godanya usil.

“apaan sich..” aku memalingkan wajah menyembunyikan wajah maluku. Oh Tuhan. Di ujung koridor sana.. Bisma. Dia berjalan menghampiriku. Deg… deg…deg… jantungku berpacu lebih cepat seirama langkah kakinya. 5m.. 4m.. 3m.. Ya Allah dia makin dekat.

“selamat ya cerpenmu jadi yang terbaik.” Aku tersenyum. Tapi tunggu dulu. Kenapa Bisma mengulurkan tangannya pada Erika? Apa dia salah mengenaliku?

“i..iyaa terimakasih kak.” Jawab Erika terbata sambil menjabat tangan Bisma.

“apa yang sebenarnya terjadi?kamu ikut sayembara juga?bukannya kamu bilang tidak suka dunia tulis menulis?” pertanyaan-pertanyan itu terhenti di tenggorokanku, aku hanya menatap Erika. Mataku yang bicara. Ku lihat mata Erika mulai mendung.

“mii.. kenapa kamu tidak iku sayembara? Padahal karya-karyamu di mading bagus lho.” Aku menoleh kearah Bisma seakan tak percaya pada apa yang sudah terjadi. Katakan.. katakan kalau dugaan ku salah. Aku mengambil majalah sekolah terbitan terbaru yang ada di tangan Bisma. Aku buka dengan cepat tiap halamannya, aroma khas majalah baru tertangap hidungku, berharap semua ini hanya mimpi dan aku segera bangun. Tapi..ini kenyataan mii.. aku melihat cerpen berjudul LOVE IS BLIND dan di pojok kanan bawah halaman tertulis: Erika Valentina lengkap dengan foto dirinya. Serasa darah di otakku turun ke bawah seperti air terjun. Ini kan karyaku.

“mii.. sebenarnya” Erika mulai menangis dihadapanku. Aku memandangnya dengan berjuta kenyataan yang masih ku anggap ini mimpi. Aku segera mengambil tas ransel di sebelahku dan pergi meninggalkan mereka berdua. Aku tahu Erika berlari sambil memanggil-manggil namaku. Air mataku bahkan tak sanggup menetes. Sahabatku sendiri tega seperti ini. Apa benar ini yang namanya sahabat. Erika berhasil menyusulku dan berdiri di depanku, memegang lenganku.

“mii.. aku benar-benar menyesal. Awalnya aku iseng, main-main saja mii.” Aku memalingkan wajahku. Aku benar-benar tak bisa percaya padamu sekarang.

“kau tahu betapa aku menyukai Bisma, kau tahu betapa pentingnya sayembara ini untuk memenangkan hatinya Bisma?! Kau…”

“iya..iya aku tahu. Aku hilaf mii. Sebenarnya aku juga menyukai Bisma.” Apa? Aku semakin tak mengerti jalan fikirannya. Aku tak sanggup lagi.

“berkat kau aku mendapat inspirasi untuk membuat cerpen LOVE IS BLIND KUADRAT.” Aku melepaskan tangannya dan pergi. Tapi dia mengejarku lagi.

“tenang saja aku takkan membunuhmu Erika, aku masih punya otak.” Ucapku dan pergi. Kali ini dia tidak mengejarku. Dia hanya menangis dan terus memanggil namaku. Bukankah aku yang seharusnya menangis?Ku relakan dia wahai sahabatku, jika kau sungguh mencintainya, tolong jaga dia wahai sahabatku.. jangan sampai hatinya terluka.. seperti hatiku.

>>> 

Mataku masih enggan untuk terbuka . Meski terpejam tapi masih bisa ku rasakan sisa tangis semalam menggantung di mataku. Mentari pagi menyusup masuk lewat celah jendela yang masih tertutup kelambu. Ternyata hari ini matahari bangun mendahului. Ku paksakan tubuh letihku untuk duduk dengan selimut yang masih mentupi sebagian tubhku.

“Mii.. “ terdengar suara panggilan seseorang yang telah merawatku selama 17 tahun ini. Diiringi beberapa kali ketukan.

“ayo bangun nak, sudah siang.” Aku tak bergeming menatap pintu kokoh berwarna putih itu.

“ibu masuk ya..” sesaat kemudian terdengar suara pintu terbuka dan wajah anggun ibu muncul di baliknya.

“anak cantik kok bangunnya telat?” ibu megusap rambutku lembut, kemudian duduk di tepi ranjang.

“Apa ibu tidak bisa melihat kalau aku sedang kacau seperti ini?, apa ibu tidak tahu hati ini telah di hianati?.” Racauku dalam hati, mataku mulai buram lagi karena genangan air mata. Aku menunduk berusaha menyembunyikannya dari ibu. Tapi isak ini semakin terdengar saat ibu kembali mengusap rambutku pelan. Ku beranikan menatap wajah ibu, begitu teduh ku rasa hingga ku hamburkan tubuh ini untuk memeluknya.

“menangislah, jangan curang menyimpan semua perasaanmu sendiri.” Ucap ibu pelan.

“rasanya sakit bu..sakit..hiks” suaraku tenggelam dalam isak. Semuanya ingin ku curahkan pada ibu, semuanya.

“tapi kan belum tentu Bisma menyukai Erika yang sudah membajak cerpenmu, sayang.”

“bukan itu masalahnya bu, Erika sahabatku tapi kenapa ia tega menghianatiku?”

“awalnya memang sakit, tapi lama-kelamaan hatimu akan menyesuaikannya.”

Aku terhenyak mendengar kata-kata ibu. Mungkin ibu benar, sekarang saja ku mulai bertanya-tanya kenapa hanya karena masalah seperti ini aku menagis.

“tentang cerpenmu, kamu kan masih bisa membuat cerita yang lainnya.”

“tapi sudah tak ada inspirasi lagi bu.”

“Jangan menunggu terinspirasi baru menulis, tapi menulislah, maka inspirasi akan hadir dalam hatimu.” Ibu tersenyum kepadaku, mengacak rambutku dan beranjak. “ayo cepat siap-siap ke sekolah.”

>>> 

Aku berlari melewati koridor sekolah yang sudah sepi. Pantas saja sepi karena sudah pukul 07.30. Aku terlambat. Kelasku ada di ujung koridor, ku kurangi kecepatanku saat mendekati persimpangan, tapi langkahku benar-benar terhenti ketika berada di depan pintu ruang redaksi majalah sekolah. Cukup lama ku pandangi pintu berwarna biru langit itu, sosok Bisma kembali melintas dalam benak. Dengan ragu aku mulai mengetuk pintu itu. Tak ada jawaban. Ku beranikan diri memegang handle pintu dan menekannya ke bawah, ternyata tak terkunci. Perlahan ku dorong pintu untuk terbuka. Udara dari dalam seketika mengahambur keluar, aroma has rumah sakit.

Aku melongok ke dalam ruangan, terlihat beberapa deret berkas yang tersusun rapih di dalam lemari pajangan, di kursi pojok dekat jendela itu sepertinya ada orang, aku memicingkan mata, itu orang atau apa?? Kuberanikan diri memasuki ruangan yang sedikit gelap itu. Sosok itu menengadah menyadari kehadiranku. Aku masih berusaha berdiri di atas kakiku yang bergetar. Aku menghembuskan nafas lega.. ternyata itu Bisma,, tapi..

“Kak Bisma, kamu kenapa?” Bisma berusaha menutupi hidungnya, cairan merah mengalir di sela-sela jarinya.

“kak…” panik aku berlutut di depannya. Tissue..tissue…bergegas ku buka tas ransel unguku. Ku ambil beberapa helai dan hendak mengusapkannya, namun tanganku terhenti ketika Bisma mengambil tissue itu. Dia mengusap sendiri cairan merah yang mengalir dari hidungnya sambil menatapku.. seakan matanya bicara: “kenapa kamu ada di sini?”

“kakak sakit?” Bisma tak bereaksi. Aku hanya bisa menungguinya selesai menyeka semua daranya, tissue-tissue itu sudah tak putih lagi tapi cairan merah dari hidungnya tak kunjung kering. Akhirnya aku membentuk gulungan dari beberapa tissue dan menyodorkannya pada Bisma. Sesaat kemudian kedua lubang hidungnya tersumbat tissue,, apa dia masih bisa bernafas ya??

“terimakasih” ucapnya tak jelas seperti bencis kalengan di dekat terminal. Aku mengangguk, senang rasanya cairan itu tak terlihat lagi.

“kakak kenapa?” dengan ragu kembali ku ajukan pertanyaan itu, meski hatiku bergetar memikirkan jawaban terburuk yang mungkin ia berikan.

Bisma beranjak dari kursinya dan menuju ke ruangan yang terdapat di sebelah kanan kami. Di sana ada beberapa tumpukan buku tebal yang berserakan di lantai. Ralat! sepertinya itu bukan buku tapi kitab-kitab jaman purbakala, tebal sekali.

“aku tadi berusaha mengambil salah satu buku ini, tapi semuanya malah ikut tertarik dan menimpa wajahku, tepatnya ini.” Ujar Bisma sambil menunjuk hidungnya yang masih tersumpal.

“apa?” batinku bertanya sendiri, sempat terfikir Bisma mengidap suatu penyakit mematikan yang dapat membuatnya tak punya kesempatan lama menginjak bumi ini, syukurlah. Tapi kenapa tadi tercium bau obat seperti di rumah sakit?.

“aku fikir…” ku urungkan niatku menanyakan pertanyaan itu.

“apa? aku tidak mengidap penyakit apapun, hanya saja aku alergi dingin.”

“tapi tadi tercium bau seperti di rumah sakit.”

“hem… otak anak jaman sekarang terlalu kreatif, di sebelah ruangan ini kan UKS, dan lihat itu.” Bisma menunjuk fenlitasi udara yang ada di dinding.

“oohh,,,”

“jadi aroma di sini juga hampir sama seperti di UKS.”

Deg.. tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku celingukan mencari jam dinding karena jam tanganku tertinggal.

“jam 8 lewat” ujar Bisma setelah menyadari apa yang ku cari.

“yah.. telat banget.”

“lebih baik telat daripada tidak sama sekali kan.”

“tapi Pak Hari tidak menganut faham itu, lagi pula sudah telat lebih dari satu jam.”

“kalau begitu sekalian saja kita bolos.”

“eh..???”

>>> 

Aku mengekor di belakang Bisma, dan di sinilah kami sekarang. Di sebuah padang rumput kecil indah dekat lapangan sekolah yang sudah tak terpakai, begitu rindang dengan sebuah pohon besar kokoh yang menua, semilir angin membawa aroma rumput basah. Aku tak menyangka di sekolah ini ada tempat seperti ini.

“indah kan?” ujar Bisma yang telah duduk di atas rumput. Aku tersenyum dan mengikutinya duduk.

“ini tempat favoritku di sekolah ini selain ruang redaksi.”

“berarti kakak sering ke sini?”

“ya”

“bolos?”

“hanya saat bosan dengan pelajaran.”

“ya kan sama saja kak.”

“ya sama seperti sekarang.”

Aku hanya terdiam, ku lihat Bisma mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Ternyata majalah sekolah edisi terbaru yang memuat cerpenku, tapi bukan atas namaku.

“kamu sudah baca ?”

Aku hanya menggeleng, hatiku kembali terkorek teringat kejadian kemarin. Jangan… jangan menangis sekarang.

“aku terkesan sekali dengan semangat adik-adik kelas mengikuti sayembara membuat cerpen, karyanya bagus-bagus. Tapi ada satu cerpen yang sangat menarik perhatianku, yang ini.” Bisma menunjukkan majalah yang sudah terbuka itu.

“Love is blind.” Hatiku senang mendengar Bisma menyukai karyaku tapi…kenyataan yang dia tahu itu bukan karyaku.

“oya, kemarin kalian kenapa? Bertengkar ya?”

Oh God.. Bisma mengingatkanku kembali pada Erika.

“tidak.” Elakku

“syukurlah. Aku sangat terkesan dengan tulisan Erika ini. Bahasanya lembut dan indah.” Aku hanya berusaha tersenyum.

“kamu sahabatnya Erika kan?” Bisma menoleh ke arahku

“heem.”

“anaknya cantik ya? Kelihatannya baik juga” sesaat sebelumnya baru saja aku merasakan matahari tersenyum ke arahku tapi sekarang.. ingin rasanya aku berlari,.. bisa tidak jangan membicarakan nama yang sangat menyakitkan hatiku itu.

“ya dia memang cantik.” Jawabku sebisanya.

“tapi cantik bukanlah barometer utama yang dapat mengundang cinta.”

Bisma tiba-tiba beranjak dan berjalan beberapa langkah, sesaat kemudian kembali dengan membawa bunga berwarna kuning yang banyak tumbuh di sekitar sini. Kini dia berjongkok tepat dihadapanku, menatapku lekat.

“aku.. aku sayang kamu.” Aku terhenyak seakan tak percaya, semilir angin seakan turut merasakan keterkejutanku. Bisma mengulurkan bunga berwarna kuning.

“mau gag jadi pacarku?” aku semakin tak percaya…, jantungku berdebar semakin cepat. Sesaat kemudian Bisma tersenyum ke arahku, manis sekali.

“kalau aku bicara seperti itu di depan Erika apa dia mau menerimaku ya?”

>>> 

“kalau aku bicara seperti itu di depan Erika apa dia mau menerimaku ya?”

Kata-kata itu selalu terputar kembali di otakku sepanjang hari ini, berkalai-kali. Aku hanya meng-iya-kan saat Bisma berkata padaku ingin lebih dekat dengan Erika. Ya..mungkin aku munafik, sok tegar dengan tetap tersenyum meski hatiku sangat sakit, tapi aku tak sekuat itu, hatiku berbatas. Aku juga tidak bisa menyalahkan Erika kalau akhirnya Bisma lebih memilihnya.

“kalalu kita selalu mendapatkan apa yang kita inginkan, kapan kita bisa belajar untuk ikhlas?” ucap ibu lembut. Aku masih terisak dalam peluknya, aku hanya ingin menangis saat ini.

“semua pasti sudah di atur, tak ada yang kebetulan di dunia ini, sayang.”kali ini ibu mengusap rambutku.

“ibu tidak mengerti perasaanku.”

“ibu tahu..”

“ibu nggak ngerti.” Kali ini aku melepaskan pelukan ibu.

“sayang..”

“semuanya hanya bisa bilang ‘aku tahu perasaanmu’, tapi apa? Hanya formalitas saja bu, hanya ingin dianggap perduli tapi ternyata tidak sama sekali.” Aku kesulitan mengatur nafas yang terhalang isak.

“memang sulit menerima pernyataan ‘aku tahu perasaanmu’, tapi setidaknya tak bisakah kamu pura-pura percaya pada ibumu ini, sayang? Mungkin sekarang rasa percayamu masih enggan untuk keluar, terlalu rapat kamu menyimpannya, setelah rasa percayamu itu dihianati sahabatmu sendiri.” ibu memandangku lembut. Aku tersadar.

“aku percaya ibu.” Lirihku tertunduk dalam sesal, dan tubuh mungil itu kembali memelukku.

“sabar dan ihklas itu pohon yang berbuah manis, sayang.”

>>> 

“ayo ke kantin.” Ajak Erika saiang itu. Aku menggeleng menolaknya.

“mau nitip sesuatu?” sekali lagi aku menggeleng. Bagaimana mungkin dia bisa bersikap seperti biasanya setelah apa yang dia lakukan padaku.

“ada titipan dari Bisma.” Ucapku datar sambil menyodorkan Novel Ketika Cinta Harus Bersabar yang kemarin dititipkan Bisma untuk Erika.

“Bisma?” aku mengangguk. Erika terlihat membolak-balik novel itu.

“terimakasih ya, tolong sampaikan padanya.” Katanya riang kemudian meninggalkanku. Aku masih memandangi sosok Erika yang kemudian lenyap di balik pintu. Hah..aku tak percaya ini, dia masih bisa sesenang itu. Apa dia sudah lupa aku juga mempunyai perasaan pada Bisma? Bisa saja tadi aku tidak menyerahkan novel itu, mencakar mukanya dan menjambak rambutnya.

“hey.. hey..” ada suara aneh dan kibasan angin yang menerpa wajahku. Aku kembali kedunia nyata, ternyata Bisma ada di sini dan masih mengibaskan tangannya di depan mataku.

“siang-siang malah ngelamun, nanti kesurupan lho.” Bisma duduk di bangku di depanku.

“sudah kamu berikan?”

“sudah.”

“dia suka?” aku mengangkat bahu.

“terimakasih katanya.”

“hanya itu? Dia tidak mengucapkan kata-kata yang lain?” burunya, aku menggeleng. Oh Tuhan, sampai kapan aku bisa berpura-pura seperti ini. Bisma menghela nafas beratnya.

“aku ingin menyatakan perasaan ini.” Katanya pelan yang kini duduk membelakangiku. Hatiku perih mendengarnya, seketika cairan hangat mengalir di pipiku.

“kamu mau kan membantuku?” ucapnya tanpa menoleh. “aku ingin membuat kejutan kecil untuknya.”

“lusa dia ulang tahun.”

“benarkah?” kini Bisma menoleh ke arahku. Raut senangnya seketika berubah menjadi khawatir. “Mii.. kamu kenapa?” ucapnya setelah melihatku menangis. aku menggeleng dan berusaha menghapus air mata dengan telapak tanganku.

“pasti senang rasanya dicintai orang yang kita cinta.”

“Mii..”

“akan ku pastikan Erika juga mempunyai perasaan yang sama denganmu.” Meski aku tak bisa Lembar pertama di usiaku yang baru 12 jam yang lalu bertambah. Ya, hari ini ulangtahunku, bertepatan dengan hari ultah Erika. Hari ini pasti Erika akan mendapatkan hadiah ultah yang paling indah dan aku akan melakukan revolusi besar-besaran dalam hidupku, merelakan orang yang kucintai untuk Erika-sahabatku yang telah mencurangiku.

Sekarang aku duduk di sini, di ruang redaksi yang sudah sepi. Menemani Bisma merangkai kata-kata yang hendak ia ucapkan nanti saat menyatakan perasaannya.

“kamu sudah bilang kan sama Erika?” ucap Bisma sambil mencoret tulisannya.

“sudah kok.” Aku berusaha melihat apa yang ditulis Bisma.

“jangan mengintip.” Ujarnya dan dengan cepat menyembunyikan kertasnya. Aku manyun. “sudah hampir jam 3 nih, ayo cepat kita ke lapangan belakang, bereskan tasmu.”

Aku mengiringi langkah Bisma, menatap sepatuku yang berdebu, kusam seperti hatiku sekarang. Berusaha meyakinkan hatiku sendiri bahwa aku sanggup melalui ini.

“aku pulang ya.” Ucapku setelah sampai.

“eh, tunggu dulu.” Kata Bisma sambil meletakkan tas ranselnya begitu saja di atas rumput. Mencegahku melangkah lebih jauh “temani aku dulu sampai Erika datang.”

“untuk apa? Jadi saksi?”

“sudahlah, pokoknya temani aku dulu, ya.” Aku tak kuasa menolak dan akhirnya duduk di atas rumput dekat tas ransel Bisma yang tergeletak. Bisma asyik berjongkok mengumpulkan bunga berkelopak kuning yang hampir mirip dengan bunga seruni. Sesaat kemudian Bisma duduk di sebelahku sambil mengikat bunga kuning yang sudah dikumpulkannya.

“sudah kan? Aku pulang ya?”

“eh.. tunggu dulu.” Bisma menahan lenganku. “sebentar lagi ya, tolong kamu ambil kertas yang tadi aku tulisi, di dalam tas yang depan.”

Dengan enggan aku menuruti permintaannya.

“nih..” aku mengulurkan lipatan kertas itu.

“ayo dibaca.” Ucapnya

“aku?”

“iya, kamu yang baca. Anggap saja seleksi masuk tim redaksi majalah sekolah.” Akhirnya aku membuka lipatan kertas itu dan mulai membaca tulisan Bisma.

“bukan gelap jika tak terang nantinya. Bukan hujan jika tak diiringi reda. Dan bukan cinta jika tak membawa senyum dan air mata. Dari temaram senja siang menitipkan rindunya pada malam. Dan dari sini aku titipkan cintaku untukmu, Mii..” aku mengerutkan dahi. Ku baca sekali lagi. “Mii? Seharusnya di sini ditulis Erika, bukan Mii.” Kataku mengoreksi tulisannya.

“itu benar kok, Mii.” Sebuah suara tiba-tiba muncul dari arah punggung kami. Ternyata Erika yang datang sambil membawa kotak putih. Aku semakin menyatukan kedua alisku, tak mengerti.

“semua ini skenario buatan si pemimpin redaksi majalah sekolah kita yang tercinta ini.”ucap Erika yang kini sudah duduk di depan kami berdua. Otakku masih loading berusaha mencerna semua kata-katanya, tapi mataku tak bisa lepas dari kotak putih yang ternyata berisi kue tart di depanku.

“dan aku yang jadi korban, harus menjadi tokoh antagonis dalam cerita ini.” Lanjut Erika.

“maafkan aku ya, Mii. Sudah membuatmu menangis.”kata Bisma.

“kamu juga harus minta maaf padaku dong. Gara-gara kamu mungkin Mii sudah membenci dan meyumpahiku karena merebutmu.” Sungut Erika. Aku masih belum mengerti ada apa ini sebenarnya.

“aku sangat mencintaimu, Mii.” Bisma memberikan rangkaian bunganya padaku.

“jadi.. semua ini…”

“ya. Mana mungkin aku tega menyakiti sahabatku sendiri. Kamu beruntung Mii, Bisma sangat mencintaimu dan merencanakan semua cerita ini untuk memberikan kejutan padamu.”

“lalu.. cerpen itu..”

“itu juga bohong, majalah sekolah yang kamu baca waktu itu palsu. Yang asli ya dicetak dengan nama aslimu, Mii.” Terang Erika.

Apakah ini nyata? Kalaupun ini mimpi aku tak ingin segera bangun dan mengakhiri mimpi indah ini. Air mataku kembali meleleh.

“yah… kok jadi mewek..” ujar Erika.

Langit sore berhiaskan mega merah diujung barat. Mengiringi matahari tenggelam yang tersenyum hangat. Sebelum senja menjemput malam dan bulan menghiasi tahta langit kelam, aku ingin kembali tersenyum bersama orang-orang yang sangat aku cintai.

-end-membuatmu tersenyum karenaku, setidaknya aku akan berusaha membawakan kebahagiaan untukmu.

 

Tinggalkan komentar